Selasa, 29 Januari 2019

Medan Merdeka – Jantung Ibukota RI


Buffelsveld – Champ de Mars – Koningsplein – Lapangan Gambir – Lapangan Monumen Nasional (Monas)


Halaman: 144 (full colour)
ukuran : 17,5 x 25 cm
harga : Rp 80.000,-
Warga Jakarta sering melewati salah satu Jalan Medan Merdeka, baik dengan menggunakan bis umum, mobil pribadi, taksi maupun kereta-api, yang relnya membentang di atas jembatan layang di seluruh sisi timurnya. Kami mengenal lapangan ini sejak empat puluh lima tahun yang lalu. Pada tanggal 17 Agustus 1963, kami bersama ribuan orang memadati Jl. Medan Merdeka Utara untuk mendengarkan pidato Presiden Soekarno. Dari panggung yang dekat dengan rakyat, Proklamator Kemerdekaan menawan massa yang mengaguminya waktu berpidato dengan berapi-api. Tak ada kawat berduri, tak ada panser, tak ada tembok. Semua terbuka. Seorang tentara yang melihat kami berusaha membuat foto, mengajak dan menghantar kami, supaya lebih mendekati panggung di halaman muka Istana. Medan Merdeka dibanjiri orang, yang merasa merdeka. Suasana seperti ini menjadi sejarah yang sudah berlalu …
Hawa segar Medan Merdeka di pagi buta maupun petang hari menarik banyak pengunjung. Beberapa keluarga berjalan-jalan, pasangan muda asyik mengobrol; dan ada yang berolah-raga: lari, lompat, senam, bermain bola, saling berkejaran dengan sepeda atau sepatu roda. Kelompok lain melakukan senam taichi, lain orang berbaris-baris dengan memamerkan pakaian mereka yang fancy. Di sudut lain, ada yang berpiknik, berbekal makanan dari rumah atau memesannya dari warung atau salah satu gerobak, yang mangkal di pinggir jalan. Medan Merdeka menawarkan berbagai ‘fasilitas’ untuk membuang rasa penat dan menyegarkan tubuh. Bila kami melintasi Jl. Medan Merdeka Barat menuju Jl. Pos pada hari Minggu pagi, terlihat orang berduyun-duyun menuju atau meninggalkan Medan Merdeka dengan berpakaian santai, mengobrol, bercanda gem­bira, karena dapat memanfaatkan keluasan medan di tengah-tengah kota mereka ini.
Pada tahun 1960-an Medan Merdeka juga menjadi ajang demonstrasi berbagai kelompok, partai dan organisasi onderbow. Spanduk dan bendera berwarna-warni mengubah lapangan hijau menjadi merah, putih atau kuning. Di berbagai tempat, polisi maupun tentara berjaga-jaga. Lalu-lintas macet. Kawasan Medan Merdeka dihindari, dan orang sedapatnya memilih jalan alternatif. Transportasi umum kadang kurang berfungsi.
Medan Merdeka digunakan juga sebagai tempat yang menye­nangkan. Pojok barat-daya, yaitu di Taman Ria, puluhan tahun lamanya menjadi tempat rekreasi anak-anak; di sekitarnya ber­ba­gai restoran menyajikan makanan Padang, Cina ataupun Sunda bagi orang dewasa. Setiap bulan Juni Jakarta Fair dipadati ratusan ribu pengunjung dari seluruh negeri. Suasana trade fair lama-kelamaan berubah menjadi pasar malam. Bangunan semi-permanen Jakarta Fair pada bulan-bulan lain dimanfaatkan untuk berbagai bisnis. Pertunjukan Holiday on Ice dan sirkus dari India memperlihatkan acara yang jarang di Jakarta. Orgen air (1974) yang ditampilkan pada malam hari sangat digemari penonton, sehingga mobil parkir memacetkan Jl. Medan Merdeka Barat.
Puluhan tahun lamanya, Medan Merdeka penting bagi warga ibukota. Suatu aset di tengah-tengah Jakarta, yang miskin akan tempat hiburan umum dan rekreasi, yang dapat dijangkau oleh warga, yang terpaksa tinggal di kampung padat tanpa taman hijau dan terbuka. Semuanya sudah berlalu …?!
*
Medan Merdeka suatu anugerah bagi ibukota. Bagaimana bisa terjadi di tengah kota, yang tidak ramah terhadap alam terbuka, masih terdapat lapangan ‘kosong’? Pejabat DKI tidak segan merampas tempat peristirahatan ter­akhir warga-warga yang sudah meninggal di Tanah Abang, Kebon Kacang dan Kebayoran Blok P. Dalam buku ini sejarah Medan Merdeka selama dua ratus lima puluh tahun ditelusuri dengan menyajikan tahap-tahap perubahan lapangan dan jalan di sekitarnya. Semoga medan ini tetap dapat dinik­mati oleh generasi men­datang dan dijaga dari kelobaan ‘developer’ serta pejabat yang kurang mempedulikan kebutuhan rakyat biasa. Harap, karangan ini menumbuhkan pengertian akan medan di pusat Jakarta ini, supaya warga merasa memiliki dan mem­belanya.



Buku dapat anda pesan langsung di:

Yayasan Cipta Loka Caraka
Jl. Prof. Moh. Yamin 37
Jakarta Pusat 10310
(-2 (021)31924856

Tidak ada komentar:

Posting Komentar